Friday, June 26, 2015

Inflasi Dan Resesi




INFLASI

A. Pengertian Inflasi

Kenaikan harga barang dapat bersifat sementara atau berlangsung terus-menerus. Ketika kenaikan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dan terjadi hampir pada seluruh barang dan jasa maka gejala ini disebut inflasi. Jadi, kenaikan harga pada satu atau dua jenis barang tidak dapat dikategorikan sebagai inflasi.

Dengan demikian, inflasi (inflation) adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus-menerus. Lawan dari inflasi adalah deflasi (deflation), yaitu kondisi di mana tingkat harga mengalami penurunan terus-menerus.

B. Jenis-jenis Inflasi

Jenis-jenis inflasi bisa kita bedakan berdasarkan tingkat keparahannya, penyebabnya dan berdasarkan asal terjadinya.

  1. Inflasi Berdasarkan Tingkat Keparahannya
    • Inflasi rendah. Inflasi dikatakan rendah jika kenaikan harga berjalan sangat lambat dengan persentase kecil, yaitu di bawah 10% setahun.
    • Inflasi sedang. Suatu negara dikatakan mengalami inflasi sedang, jika persentase laju inflasinya sebesar 10% – 30% setahun.
    • Inflasi tinggi. Inflasi dikatakan tinggi jika laju inflasinya berkisar 30% – 100% setahun.
    • Hiperinflasi. Hiperinflasi dapat terjadi jika laju inflasinya di atas 100% setahun. Apabila suatu negara mengalami hiperinflasi, maka masyarakat tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap uang, mereka lebih memilih menukarkannya dengan barang tertentu.

  1. Inflasi Berdasarkan Penyebabnya      
    Inflasi dapat pula dibedakan berdasarkan penyebabnya, yaitu:
    • Demand-pull inflation
    • Cost-push inflation

  1. Inflasi Berdasarkan Asalnya  
    Berdasarkan asalnya inflasi dibedakan menjadi berikut ini.
    • Inflasi karena defisit APBN. Inflasi jenis ini terjadi sebagai akibat adanya pertumbuhan jumlah uang yang beredar melebihi permintaan akan uang.
    • Imported inflation. Imported inflation yaitu inflasi yang terjadi di suatu negara, misalnya beberapa barang di luar negeri yang menjadi faktor produksi di suatu negara, harganya meningkat, maka kenaikan harga tersebut mengakibatkan meningkatnya harga barang di negara tersebut.

C. Teori-teori Inflasi

Gejala-gejala inflasi dapat dijelaskan dengan teori-teori inflasi.

  1. Teori Kunatitas (Irving Fisher).         
    Menurut teori kuantitas, apabila penawaran uang bertambah maka tingkat harga umum juga akan naik. Hubungan langsung antara harga dan kuantitas uang seperti yang digambarkan oleh teori kuantitas uang sederhana dapat digunakan untuk menerangkan situasi inflasi.

  1. Teori Keynes. 
    Menurut Keynes, inflasi terjadi karena ada sebagian masyarakat yang ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi merupakan proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian lebih besar dari yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut.

  1. Teori Strukturalis       
    Teori ini memberikan perhatian besar terhadap struktur perekonomian di negara berkembang. Inflasi di negara berkembang terutama disebabkan oleh faktor-faktor struktur ekonominya. Menurut teori ini, kondisi struktur ekonomi negara berkembang yang dapat menimbulkan inflasi adalah:
    • Ketidakelastisan Penerimaan Ekspor
    • Ketidakelastisan Penawaran atau Produksi Makanan di Dalam Negeri

D. Penyebab Inflasi

Penyebab terjadinya inflasi secara umum bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Demand-pull inflation
    Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa menyebabkan bertambahnya permintaan faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap produksi menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi terjadi karena kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment. Inflasi yang ditimbulkan oleh permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga dikenal dengan istilah demand pull inflation.

  1. Cost-push inflation     
    Inflasi ini terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input) sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.


E. Dampak Inflasi

Inflasi mempunyai dampak terhadap individu maupun bagi kegiatan perekonomian secara luas. Dampak yang ditimbulkan dapat bersifat negatif atau pun positif, tergantung pada tingkat keparahannya.

  1. Dampak Positif          
    Pengaruh positif inflasi terjadi apabila tingkat inflasi masih berada pada persentase tingkat bunga kredit yang berlaku. Misalnya, pada saat itu tingkat bunga kredit adalah 15% per tahun dan tingkat inflasi 5%. Bagi negara maju, inflasi seperti ini akan mendorong kegiatan ekonomi dan pembangunan. Mengapa demikian? Hal ini terjadi, karena para pengusaha/ wirausahawan di negara maju dapat memanfaatkan kenaikan harga untuk berinvestasi, memproduksi, serta menjual barang dan jasa.

  1. Dampak Negatif        
    Inflasi yang terlalu tinggi membawa dampak yang tidak sedikit terhadap perekonomian, terutama tingkat kemakmuran masyarakat. Dampak inflasi tersebut, antara lain:
    • Dampak Inflasi terhadap Pemerataan Pendapatan
    • Dampak Inflasi terhadap Output (Hasil Produksi)
    • Mendorong Penanaman Modal Spekulatif
    • Menyebabkan Tingkat Bunga Meningkat dan Akan Mengurangi Investasi
    • Menimbulkan Ketidakpastian Keadaan Ekonomi di Masa Depan
    • Menimbulkan Masalah Neraca Pembayaran


F. Cara Mengatasi Inflasi

Berikut ini, Anda akan mengenal beberapa kebijakan pemerintah dalam mengendalikan inflasi.

  1. Kebijakan Moneter    
    Menurut teori moneter klasik, inflasi terjadi karena penambahan jumlah uang beredar. Dengan demikian, secara teoretis relatif mudah untuk mengatasi inflasi, yaitu dengan mengendalikan jumlah uang beredar itu sendiri. Kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk mengurangi atau menambah jumlah uang beredar. Ketika jumlah uang beredar terlalu berlebihan sehingga inflasi meningkat tajam, Bank Indonesia akan segera menerapkan berbagai kebijakan moneter untuk mengurangi peredaran uang.

  1. Kebijakan Fiskal        
    Bagaimana kebijakan fiskal dapat mengendalikan inflasi? Seperti Anda ketahui, kebijakan fiskal adalah kebijakan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal dilakukan pemerintah untuk mengurangi inflasi adalah mengurangi pengeluaran pemerintah, menaikkan tarif pajak dan mengadakan pinjaman pemerintah.

  1. Kebijakan Non-Moneter dan Non- Fiskal     
    Selain kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, pemerintah melakukan kebijakan nonmoneter/ nonfiskal dengan tiga cara, yaitu menaikkan hasil produksi, menstabilkan upah (gaji), dan pengamanan harga, serta distribusi barang.



G. Inflasi di Indonesia (Indeks Harga Konsumen)
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain tingkat inflasinya mencapai sekitar tiga sampai lima persen per tahun dalam periode 2005 sampai 2013, tingkat inflasi di Indonesia mencapai rata-rata 8.5 persen per tahun dalam periode yang sama.



Puncak volatilitas inflasi Indonesia berhubungan dengan kebijakan penyesuaian harga oleh pemerintah. Harga-harga energi (bahan bakar minyak dan listrik) ditetapkan oleh pemerintah dan oleh karena itu tidak mengikut kondisi pasar, yang berarti defisit yang muncul harus diserap oleh subsidi. Hal ini mengakibatkan tekanan besar pada defisit anggaran tahunan pemerintah dan juga membatasi pengeluaran publik dalam hal-hal produktif jangka panjang, seperti infrastruktur dan pengeluaran untuk soal sosial. 

Selain itu, mengatur ulang subsidi energi (menaikkan harga energi) dapat mengakibatkan timbulnya risiko politik karena keresahan sosial akan timbul bilamana ada tekanan inflasi. Salah satu ciri khas Indonesia adalah bahwa sebagian besar penduduknya berada sedikit di atas garis kemiskinan, yang berarti bilamana kejutan inflasi yang relatif kecil terjadi, mereka akan jatuh ke bawah garis kemiskinan itu. Waktu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM secara besar-besaran di akhir tahun 2005, dikarenakan harga minyak dunia yang naik cukup tinggi, tingkat inflasi Indonesia langsung berubah menjadi dua digit antara 14 sampai 19 persen (year on year) sampai bulan oktober 2006. Selanjutnya, inflasi inti di Indonesia - yang tidak termasuk barang-barang yang rentan terhadap volatilitas harga sementara - juga kena volatilitas karena efek samping penyesuain harga energi pada ekenomi (misalnya kenaikan harga transportasi).

Pengurangan subsidi energi tetap menjadi prioritas utama pemerintah. Awal tahun 2012, pemerintah mengusulkan kenaikan harga BBM, tetapi keresahan sosial dan oposisi politik di parlemen menolak rencana dadakan ini. Akhirnya pada bulan Juni 2013, harga premium naik 44 persen menjadi Rp 6,500 dan solar naik sebanyak 22 persen menjadi Rp 5,500 per liter. Meskipun terjadi kenaikan harga pada tahun 2013, sebagian besar harga BBM Indonesia masih disubsidi dan oleh karena itu berbagai organisasi internasional (seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional/IMF) serta institusi-institusi dalam negeri (seperti Kamar Dagang Indonesia/Kadin) menyokong sepenuhnya pengurangan subsidi secara lebih lanjut. Pada tahun 2013 dan 2014, pemerintah juga telah mengurangi subsidi listrik - baik untuk rumah tangga (kecuali segmen masyarakat miskin) maupun industri.

Outlook inflasi Indonesia sangat dipengaruhi oleh keputusan pengurangan tidaknya subsidi tersebut. Bank Dunia memperkirakan kenaikan harga BBM sebanyak Rp 2,000 dapat menambahkan sekitar tiga poin persentase pada tingkat inflasi umum dan dapat menambahkan sekitar satu poin persentase pada inflasi inti. Kenaikan harga listrik diperkirakan akan menyebabkan efek yang lebih kecil (< 1 persen) terhadap laju inflasi. Sebagai gambaran, Bank Indonesia menargetkan tingkat inflasi sebanyak 4.5 persen pada tahun 2013. Namun setelah kenaikan harga BBM dan listrik, inflasi naik menjadi 8.37 persen di akhir tahun (yoy). 

Inflation of Indonesia 2008-2015:

2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Inflation
(annual percent change)
9.8
4.8
5.1
5.4
4.3
8.4
-
-
Bank Indonesia Target
(annual percent change)
5.0
4.5
5.0
5.0
4.5
4.5
4.5
4.0



RESESI

A.    Pengertian Resesi

Resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau, kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Resesi ekonomi yang berlangsung lama disebut depresi ekonomi. Penurunan drastis tingkat ekonomi (biasanya akibat depresi parah, atau akibat hiperinflasi) disebut kebangkrutan ekonomi (economy collapse). Kolumnis Sidney J. Harris membedakan istilah-istilah atas dengan cara ini: "sebuah resesi adalah ketika tetanggamu kehilangan pekerjaan; depresi adalah ketika kamu yang kehilangan pekerjaan."


B.     Akibat Resesi

Gejala kongjuntur terutama dirasakan di negara – negara industri yang menganut sistem ekonoi bebas atau mixed. Ini disebabkan karena reaksi dunia bisnis lebih cepat dan sensitif, sedangkan permintaan masyarakatlebih elastis. Tetapi, Indonesia juga merasakan akibat – akibatnya, apabila di luar negeri terjadi resesi. Misalnya, pada tahun 1979-1980 perekonomian dunia mengalami resesi yang melalui impor – ekspor, jelas ini mempengaruhi situasi ekonomi dalam negeri.

Akibat resesi Internasional pada Perekonomian Indonesia adalah :

v  Harga minyak bumi tidak apat naik lagi, melainkan cenderung turun

v  Banyak komiditi ekspor mulai terpukul dalam arti harga turun dan volume ekspor terkena. Dan juga, komiditi lainnya seperti lada, kopi, tapioka, rotan,  bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam harganya. Nilai hasil ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan menurun sedikit. Dan encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor barang industri seperti tekstil juga mengalami hambatan oleh karena proteksionisme di luar negeri.
( keadaan kronologi sejak 1983 )

v  Resesi dunia masih berkelanjutan, baik di Amerika maupun Eropa dan Jepang. Akibat permintaan akan barang – barang ekspor Indonesia tidak meningkat, bahkan merosot.

v  Tingkat bunga di Amerika tinggi. Akibatnya dolar lari ke Amerika; kedudukan $ meningkat dibandingkan dengan rupiah (Rp). Disamping menimbulkan spekulasi terhadap kemungkinan devaluasi rupiah, ekspor Indonesia menjadi lebih berat bersaing di pasar luar negeri.

v  Merosotnya harga minyak merupakan pukulan berat bagi perekonomian Indonesia – dana untuk pembangunan, yang dulu diabil dari penerimaan migas, sangat merosot.

v  Ekspor nonmigas juga terpukul, tidak meningkat seperti di harapkan – belum bisa untuk mengimbangi kerugian dari kemerosotan harga minyak.

v  Cabang – cabang industri dalam negeri yang terpukul antara lain tekstil, otomotif, elektronika, bangunan/konstruksi.


C.     Penyebab Resesi Ekonomi di Indonesia

Indonesia sebenarnya hanya merupakan korban dari resesi yang mengguncang Amerika sebagai raksasa dunia. Pengaruh resesi Amerika masuk ke Indonesia melalui bursa efek dan sektor riil. Melalui sektor riil, Amerika merupakan negara yang menyerap hampir 10 persen ekspor Indonesia atau terbesar kedua setelah Jepang, ini tentunya akan mengganggu volume ekspor Indonesia serta meruntuhkan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang bergantung pada ekspor ke Amerika. Lemahnya ekspor akan menekan produksi di sektor riil, yang kemudian bisa menekan sektor keuangan.


D.    Pengaruh Resesi Ekonomi bagi Indonesia

Dampak krisis keuangan global terhadap Indonesia secara umum ada tiga hal. Pertama, gonjang-ganjing kurs dolar akan langsung memukul sehingga kurs dolar akan mengakibatkan rupiah melemah dan akan memukul ekspor-impor kita.
Kedua, dari sisi tingkat suku bunga. Dengan gonjang-ganjing dolar ini, suku bunga juga akan naik karena Bank Indonesia akan menarik rupiah ke dalam. Akibatnya adalah inflasi  akan meningkat. Dampak terhadap bank syariah adalah menjadi kurang kompetitif.
Ketiga, gabungan kurs dolar tinggi dan suku bunga baik berdampak dua hal. Investasi di sektor riil dalam akan ada yang batal. Dampak lainnya, investasi di saham. Banyak orang yang keluar dari bisnis saham pasar modal.
Di awal-awal krisis, yang secara kasat mata terimbas krisis adalah bursa efek Indonesia yang rontok. Ketika bursa di Amerika dan Eropa turun hingga empat persen, Indonesia terpangkas dua kali lipatnya bahkan hingga 10 persen.
Transmisi dampaknya ke sektor riil mungkin lebih parah ketika rupiah kemudian melemah terhadap dolar AS. Para pengusaha akan kesulitan likuiditas. Akibat yang mungkin terjadi juga Indonesia dijadikan sasaran dumping barang-barang ekspor dari negara-negara lain seperti Cina. Jika barang-barang yang semula akan diekspor ke AS kemudian batal karena terjadi resesi, maka yang harus dikhawatirkan adalah jika masuknya barang-barang itu ke Indonesia dilakukan secara ilegal.


E.     Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk Mengatasi Resesi

Dampak dari resesi ekonomi itu bisa berimbas pada neraca pembayaran dari sisi ekspor maupun impor, serta pengaruh pada pasar saham dan pasar uang. Namun, dari beberapa dampak yang sudah bisa diidentifikasi, pemerintah sudah melakukan berbagai kebijakan fiskal. Kebijakan itu antara lain penurunan bea masuk, pemberian subsidi dan menciptakan insentif agar perusahaan atau sektor usahanya tidak terbebani terlalu besar. Sedangkan di bidang moneter keputusan yang diambil Bank Indonesia (BI) adalah mempertahankan suku bunga acuan BI rate di level 9,5.  
Hal tersebut dilakukan BI agar bisa mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya menjaga stabilitas moneter. Di Indonesia, tekanan inflasi mulai mereda, meskipun laju inflasi masih cukup tinggi mencapai 11,77% year on year. BI tidak mengubah BI rate dengan memprioritaskan menahan ekspektasi inflasi serta menjaga kurs rupiah agar tidak melemah makin dalam.

No comments:

Post a Comment