INFLASI
A.
Pengertian Inflasi
Kenaikan
harga barang dapat bersifat sementara atau berlangsung terus-menerus. Ketika
kenaikan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dan terjadi hampir pada
seluruh barang dan jasa maka gejala ini disebut inflasi. Jadi, kenaikan harga
pada satu atau dua jenis barang tidak dapat dikategorikan sebagai inflasi.
Dengan
demikian, inflasi (inflation) adalah kenaikan harga barang-barang yang
bersifat umum dan terus-menerus. Lawan dari inflasi adalah deflasi (deflation),
yaitu kondisi di mana tingkat harga mengalami penurunan terus-menerus.
B. Jenis-jenis Inflasi
Jenis-jenis
inflasi bisa kita bedakan berdasarkan tingkat keparahannya, penyebabnya dan
berdasarkan asal terjadinya.
- Inflasi Berdasarkan Tingkat Keparahannya
- Inflasi rendah. Inflasi dikatakan rendah jika kenaikan harga berjalan sangat lambat dengan persentase kecil, yaitu di bawah 10% setahun.
- Inflasi sedang. Suatu negara dikatakan mengalami inflasi sedang, jika persentase laju inflasinya sebesar 10% – 30% setahun.
- Inflasi tinggi. Inflasi dikatakan tinggi jika laju inflasinya berkisar 30% – 100% setahun.
- Hiperinflasi. Hiperinflasi dapat terjadi jika laju inflasinya di atas 100% setahun. Apabila suatu negara mengalami hiperinflasi, maka masyarakat tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap uang, mereka lebih memilih menukarkannya dengan barang tertentu.
- Inflasi
Berdasarkan Penyebabnya
Inflasi dapat pula dibedakan berdasarkan penyebabnya, yaitu: - Demand-pull inflation
- Cost-push inflation
- Inflasi
Berdasarkan Asalnya
Berdasarkan asalnya inflasi dibedakan menjadi berikut ini. - Inflasi karena defisit APBN. Inflasi jenis ini terjadi sebagai akibat adanya pertumbuhan jumlah uang yang beredar melebihi permintaan akan uang.
- Imported inflation. Imported inflation yaitu inflasi yang terjadi di suatu negara, misalnya beberapa barang di luar negeri yang menjadi faktor produksi di suatu negara, harganya meningkat, maka kenaikan harga tersebut mengakibatkan meningkatnya harga barang di negara tersebut.
C.
Teori-teori Inflasi
Gejala-gejala
inflasi dapat dijelaskan dengan teori-teori inflasi.
- Teori
Kunatitas (Irving Fisher).
Menurut teori kuantitas, apabila penawaran uang bertambah maka tingkat harga umum juga akan naik. Hubungan langsung antara harga dan kuantitas uang seperti yang digambarkan oleh teori kuantitas uang sederhana dapat digunakan untuk menerangkan situasi inflasi.
- Teori
Keynes.
Menurut Keynes, inflasi terjadi karena ada sebagian masyarakat yang ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi merupakan proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian lebih besar dari yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut.
- Teori
Strukturalis
Teori ini memberikan perhatian besar terhadap struktur perekonomian di negara berkembang. Inflasi di negara berkembang terutama disebabkan oleh faktor-faktor struktur ekonominya. Menurut teori ini, kondisi struktur ekonomi negara berkembang yang dapat menimbulkan inflasi adalah: - Ketidakelastisan Penerimaan Ekspor
- Ketidakelastisan Penawaran atau Produksi Makanan di Dalam Negeri
D. Penyebab
Inflasi
Penyebab
terjadinya inflasi secara umum bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Demand-pull
inflation
Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa menyebabkan bertambahnya permintaan faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap produksi menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi terjadi karena kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment. Inflasi yang ditimbulkan oleh permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga dikenal dengan istilah demand pull inflation.
- Cost-push
inflation
Inflasi ini terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input) sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.
E. Dampak
Inflasi
Inflasi
mempunyai dampak terhadap individu maupun bagi kegiatan perekonomian secara
luas. Dampak yang ditimbulkan dapat bersifat negatif atau pun positif,
tergantung pada tingkat keparahannya.
- Dampak
Positif
Pengaruh positif inflasi terjadi apabila tingkat inflasi masih berada pada persentase tingkat bunga kredit yang berlaku. Misalnya, pada saat itu tingkat bunga kredit adalah 15% per tahun dan tingkat inflasi 5%. Bagi negara maju, inflasi seperti ini akan mendorong kegiatan ekonomi dan pembangunan. Mengapa demikian? Hal ini terjadi, karena para pengusaha/ wirausahawan di negara maju dapat memanfaatkan kenaikan harga untuk berinvestasi, memproduksi, serta menjual barang dan jasa.
- Dampak
Negatif
Inflasi yang terlalu tinggi membawa dampak yang tidak sedikit terhadap perekonomian, terutama tingkat kemakmuran masyarakat. Dampak inflasi tersebut, antara lain: - Dampak Inflasi terhadap Pemerataan Pendapatan
- Dampak Inflasi terhadap Output (Hasil Produksi)
- Mendorong Penanaman Modal Spekulatif
- Menyebabkan Tingkat Bunga Meningkat dan Akan Mengurangi Investasi
- Menimbulkan Ketidakpastian Keadaan Ekonomi di Masa Depan
- Menimbulkan Masalah Neraca Pembayaran
F. Cara
Mengatasi Inflasi
Berikut ini,
Anda akan mengenal beberapa kebijakan pemerintah dalam mengendalikan inflasi.
- Kebijakan
Moneter
Menurut teori moneter klasik, inflasi terjadi karena penambahan jumlah uang beredar. Dengan demikian, secara teoretis relatif mudah untuk mengatasi inflasi, yaitu dengan mengendalikan jumlah uang beredar itu sendiri. Kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk mengurangi atau menambah jumlah uang beredar. Ketika jumlah uang beredar terlalu berlebihan sehingga inflasi meningkat tajam, Bank Indonesia akan segera menerapkan berbagai kebijakan moneter untuk mengurangi peredaran uang.
- Kebijakan
Fiskal
Bagaimana kebijakan fiskal dapat mengendalikan inflasi? Seperti Anda ketahui, kebijakan fiskal adalah kebijakan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal dilakukan pemerintah untuk mengurangi inflasi adalah mengurangi pengeluaran pemerintah, menaikkan tarif pajak dan mengadakan pinjaman pemerintah.
- Kebijakan
Non-Moneter dan Non- Fiskal
Selain kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, pemerintah melakukan kebijakan nonmoneter/ nonfiskal dengan tiga cara, yaitu menaikkan hasil produksi, menstabilkan upah (gaji), dan pengamanan harga, serta distribusi barang.
G. Inflasi
di Indonesia (Indeks Harga Konsumen)
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi
dibanding negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang
lain tingkat inflasinya mencapai sekitar tiga sampai lima persen per tahun
dalam periode 2005 sampai 2013, tingkat inflasi di Indonesia mencapai rata-rata
8.5 persen per tahun dalam periode yang sama.
Puncak volatilitas inflasi
Indonesia berhubungan dengan kebijakan penyesuaian harga oleh pemerintah.
Harga-harga energi (bahan bakar minyak dan listrik) ditetapkan oleh pemerintah
dan oleh karena itu tidak mengikut kondisi pasar, yang berarti defisit yang
muncul harus diserap oleh subsidi. Hal ini mengakibatkan tekanan besar pada
defisit anggaran tahunan pemerintah dan juga membatasi pengeluaran publik dalam
hal-hal produktif jangka panjang, seperti infrastruktur dan pengeluaran untuk soal sosial.
Selain itu, mengatur ulang
subsidi energi (menaikkan harga energi) dapat mengakibatkan timbulnya risiko
politik karena keresahan sosial akan timbul bilamana ada tekanan inflasi. Salah
satu ciri khas Indonesia adalah bahwa sebagian besar penduduknya berada sedikit
di atas garis kemiskinan, yang berarti bilamana kejutan inflasi yang relatif
kecil terjadi, mereka akan jatuh ke bawah garis kemiskinan itu. Waktu pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM secara besar-besaran di akhir
tahun 2005, dikarenakan harga minyak dunia yang naik cukup tinggi, tingkat
inflasi Indonesia langsung berubah menjadi dua digit antara 14 sampai 19 persen
(year on year) sampai bulan oktober 2006. Selanjutnya, inflasi inti di
Indonesia - yang tidak termasuk barang-barang yang rentan terhadap volatilitas
harga sementara - juga kena volatilitas karena efek samping penyesuain harga
energi pada ekenomi (misalnya kenaikan harga transportasi).
Pengurangan subsidi energi tetap menjadi prioritas utama pemerintah. Awal
tahun 2012, pemerintah mengusulkan kenaikan harga BBM, tetapi keresahan sosial
dan oposisi politik di parlemen menolak rencana dadakan ini. Akhirnya pada
bulan Juni 2013, harga premium naik 44 persen menjadi Rp 6,500 dan solar naik
sebanyak 22 persen menjadi Rp 5,500 per liter. Meskipun terjadi kenaikan harga
pada tahun 2013, sebagian besar harga BBM Indonesia masih disubsidi dan oleh
karena itu berbagai organisasi internasional (seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional/IMF) serta institusi-institusi dalam negeri (seperti
Kamar Dagang Indonesia/Kadin) menyokong sepenuhnya pengurangan subsidi secara
lebih lanjut. Pada tahun 2013 dan 2014, pemerintah juga telah mengurangi
subsidi listrik - baik untuk rumah tangga (kecuali segmen masyarakat miskin)
maupun industri.
Outlook inflasi Indonesia sangat dipengaruhi oleh keputusan pengurangan
tidaknya subsidi tersebut. Bank Dunia memperkirakan kenaikan harga BBM sebanyak
Rp 2,000 dapat menambahkan sekitar tiga poin persentase pada tingkat inflasi
umum dan dapat menambahkan sekitar satu poin persentase pada inflasi inti.
Kenaikan harga listrik diperkirakan akan menyebabkan efek yang lebih kecil (<
1 persen) terhadap laju inflasi. Sebagai gambaran, Bank Indonesia menargetkan
tingkat inflasi sebanyak 4.5 persen pada tahun 2013. Namun setelah kenaikan
harga BBM dan listrik, inflasi naik menjadi 8.37 persen di akhir tahun (yoy).
Inflation of Indonesia 2008-2015:
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
|
Inflation
(annual percent change) |
9.8
|
4.8
|
5.1
|
5.4
|
4.3
|
8.4
|
-
|
-
|
Bank Indonesia Target
(annual percent change) |
5.0
|
4.5
|
5.0
|
5.0
|
4.5
|
4.5
|
4.5
|
4.0
|
RESESI
A. Pengertian
Resesi
Resesi atau kemerosotan
adalah kondisi ketika produk domestik bruto
(GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil
bernilai negatif selama dua kuartal
atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara
simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan
keuntungan perusahaan. Resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga
(deflasi), atau, kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara
tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Resesi ekonomi yang berlangsung lama disebut depresi ekonomi.
Penurunan drastis tingkat ekonomi (biasanya akibat depresi parah, atau akibat hiperinflasi) disebut kebangkrutan
ekonomi (economy collapse). Kolumnis Sidney J. Harris
membedakan istilah-istilah atas dengan cara ini: "sebuah resesi adalah
ketika tetanggamu kehilangan pekerjaan; depresi adalah ketika kamu yang
kehilangan pekerjaan."
B.
Akibat Resesi
Gejala
kongjuntur terutama dirasakan di negara – negara industri yang menganut sistem
ekonoi bebas
atau mixed. Ini disebabkan karena reaksi dunia bisnis lebih cepat dan sensitif,
sedangkan permintaan masyarakatlebih elastis. Tetapi, Indonesia juga merasakan
akibat – akibatnya, apabila di luar negeri terjadi resesi. Misalnya, pada tahun
1979-1980 perekonomian dunia mengalami resesi yang melalui impor – ekspor,
jelas ini mempengaruhi situasi ekonomi dalam negeri.
Akibat resesi Internasional pada Perekonomian Indonesia adalah :
v
Harga minyak bumi tidak apat naik lagi, melainkan
cenderung turun
v
Banyak komiditi ekspor mulai terpukul dalam arti harga
turun dan volume ekspor terkena. Dan juga, komiditi lainnya seperti lada, kopi,
tapioka, rotan, bijih nikel, bauksit, dsb. Agak melemah dalam harganya.
Nilai hasil ekspor nonmigas dapat dikatakan, dalam ukuran riil, akan menurun
sedikit. Dan encenderungan ini masih berjalan terus. Hasil ekspor barang
industri seperti tekstil juga mengalami hambatan oleh karena proteksionisme di
luar negeri.
( keadaan
kronologi sejak 1983 )
v
Resesi dunia masih berkelanjutan, baik di
Amerika maupun Eropa dan Jepang. Akibat permintaan akan barang – barang ekspor
Indonesia tidak meningkat, bahkan merosot.
v
Tingkat bunga di Amerika tinggi. Akibatnya dolar lari
ke Amerika; kedudukan $ meningkat dibandingkan dengan rupiah (Rp). Disamping
menimbulkan spekulasi terhadap kemungkinan devaluasi rupiah, ekspor Indonesia
menjadi lebih berat bersaing di pasar luar negeri.
v
Merosotnya harga minyak merupakan pukulan berat bagi
perekonomian Indonesia – dana untuk pembangunan, yang dulu diabil dari
penerimaan migas, sangat merosot.
v
Ekspor nonmigas juga terpukul, tidak meningkat seperti
di harapkan – belum bisa untuk mengimbangi kerugian dari kemerosotan harga
minyak.
v
Cabang – cabang industri dalam negeri yang terpukul
antara lain tekstil, otomotif, elektronika, bangunan/konstruksi.
C.
Penyebab Resesi Ekonomi di Indonesia
Indonesia sebenarnya hanya merupakan
korban dari resesi yang mengguncang Amerika sebagai raksasa dunia. Pengaruh
resesi Amerika masuk ke Indonesia melalui bursa efek dan sektor riil. Melalui
sektor riil, Amerika merupakan negara yang menyerap hampir 10 persen ekspor
Indonesia atau terbesar kedua setelah Jepang, ini tentunya akan mengganggu
volume ekspor Indonesia serta meruntuhkan perusahaan-perusahaan di Indonesia
yang bergantung pada ekspor ke Amerika. Lemahnya ekspor akan menekan produksi
di sektor riil, yang kemudian bisa menekan sektor keuangan.
D.
Pengaruh Resesi Ekonomi bagi Indonesia
Dampak krisis keuangan global terhadap Indonesia secara
umum ada tiga hal. Pertama, gonjang-ganjing kurs dolar akan langsung memukul
sehingga kurs dolar akan mengakibatkan rupiah melemah dan akan memukul
ekspor-impor kita.
Kedua, dari sisi tingkat suku bunga. Dengan
gonjang-ganjing dolar ini, suku bunga juga akan naik karena Bank Indonesia akan
menarik rupiah ke dalam. Akibatnya adalah inflasi akan meningkat. Dampak
terhadap bank syariah adalah menjadi kurang kompetitif.
Ketiga, gabungan kurs dolar tinggi dan suku bunga baik
berdampak dua hal. Investasi di sektor riil dalam akan ada yang batal. Dampak
lainnya, investasi di saham. Banyak orang yang keluar dari bisnis saham pasar
modal.
Di awal-awal krisis, yang secara kasat mata terimbas
krisis adalah bursa efek Indonesia yang rontok. Ketika bursa di Amerika dan
Eropa turun hingga empat persen, Indonesia terpangkas dua kali lipatnya bahkan
hingga 10 persen.
Transmisi dampaknya ke sektor riil
mungkin lebih parah ketika rupiah kemudian melemah terhadap dolar AS. Para
pengusaha akan kesulitan likuiditas. Akibat yang mungkin terjadi juga Indonesia
dijadikan sasaran dumping barang-barang ekspor dari negara-negara lain
seperti Cina. Jika barang-barang yang semula akan diekspor ke AS kemudian batal
karena terjadi resesi, maka yang harus dikhawatirkan adalah jika masuknya
barang-barang itu ke Indonesia dilakukan secara ilegal.
E.
Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk Mengatasi Resesi
Dampak dari resesi ekonomi itu bisa berimbas pada neraca
pembayaran dari sisi ekspor maupun impor, serta pengaruh pada pasar saham dan
pasar uang. Namun, dari beberapa dampak yang sudah bisa diidentifikasi,
pemerintah sudah melakukan berbagai kebijakan fiskal. Kebijakan itu antara lain
penurunan bea masuk, pemberian subsidi dan menciptakan insentif agar perusahaan
atau sektor usahanya tidak terbebani terlalu besar. Sedangkan di bidang moneter
keputusan yang diambil Bank Indonesia (BI) adalah mempertahankan suku bunga
acuan BI rate di level 9,5.
Hal tersebut dilakukan BI agar bisa mencapai keseimbangan
antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya menjaga stabilitas moneter. Di
Indonesia, tekanan inflasi mulai mereda, meskipun laju inflasi masih cukup
tinggi mencapai 11,77% year on year. BI tidak mengubah BI rate dengan
memprioritaskan menahan ekspektasi inflasi serta menjaga kurs rupiah agar tidak
melemah makin dalam.
No comments:
Post a Comment